Total Pageviews

Tuesday, October 29, 2013

Seribu Kisah Untukmu Senja



Seribu Kisah Untukmu Senja
Karya Nanda Risanti

Hidup itu gelap saat aku benar-benar kehilanganmu. Aku merasa senja yang paling aku kagumi tidak bersahabat semenjak awan gelap selalu mengunjungi langit sore. Jika aku benar-benar kehilanganmu aku berharap masih ada pelangi yang masih mau menemaniku, namun kenyataannya pelangi juga enggan memberikan warnanya untuk sekedar menghiburku yang baru saja kehilanganmu. Sungguh pun memang aku tidak akan pernah bertemu denganmu, aku selalu berharap langit masih memberikan awannya untuk kupinjam hanya untuk sekedar bercerita tentang hal yang pernah aku jalani denganmu. Kisah ini kupersembahkan untuk orang yang paling aku sayang hingga saat ini, untuk orang yang selalu mau meminjamkan bahunya disaat aku benar-benar kehilangan arah.
Cinta memberikan aku aroma madu saat aku benar-benar merasa bahagia, namun cinta memberikan aku rasa pahit saat aku benar-benar kehilanganmu. Sungguh ini bukan irisan hati yang terluka, hanya irisan hati yang mencoba menumpah ruahkan perasaanya untuk sekedar dibagi kepada langit luas.
Bisa mengenalmu adalah suatu hal terindah yang patut aku syukuri. Aku pernah mengenal banyak pria dalam hidupku, tak terkecuali dirimu. Namun, memilihmu untuk yang aku sayang hingga saat ini adalah hal paling terindah yang sangat tak terbayangkan. Mungkin kedengarannya berlebihan jika aku mengatakan hal itu, jika mengingat masa perkenalan dan dilanjutkan hingga pada masa pacaran kita yang relatif singkat. Pertemuan kita di awali karena ketidak sengajaan, dirimu memiliki kesamaan dengan salah seorang yang pernah ada di hatiku. Sahabatku mengenalkanmu denganku lewat foto di jejaring sosial facebook. Awalnya hanya iseng, kau sudah pernah melihat wajahku meski hanya dari foto, tapi aku, sama sekali belum pernah mengenalmu, bahkan dari foto sekalipun. Sahabatku selalu memuji dirimu di depanku, meski setelah aku kehilangan orang yang dia anggap mirip denganmu. Tapi, ada hati lain yang sempat mendekatiku sebelum aku mengambil keputusan untuk mau mengenalmu. Satu bulan lebih kita tidak pernah berkomunikasi, hanya dari sahabatku aku bisa mendapatkan kabar darimu. Setelah aku tahu, hati yang hanya sepintas lewat itu tidak benar-benar memberikan hatinya untukku, aku mencoba untuk mau mencoba mengenalmu. Aneh memang, aku seperti memanfaatkanmu untuk bisa menghibur diriku dari kekecewaanku, karena orang yang dekat denganku tidak sesuai keinginanku. Tapi, kau masih ada niat baik untuk masih mau menanggapi sms atau miscall dariku. Aku sempat tidak percaya bahwa kau sedang tidak sendiri. Namun, kau berulang-ulang kali meyakinkan aku dengan semua perkataanmu.
“Kenapa sih Nda gak pernah mau ketemu sama Imam?” tulis dia di pesan.
“Nda takut Imam bakalan lari kalo ketemu sama Nda.” Balasku
Sejak saat itu, akhirnya kita mulai berkomunikasi lewat sms atau sekedar nelpon. Aku tidak pernah mau sms dirimu pertama kali, sebelum kau yang pertama kali sms aku. Aku pura-pura cuek atau jaim jika kau sms atau menelponku. Aku sadar sebenarnya kau tahu gelagat kesengajaanku. Namun, kau masih mau mengalah untuk memulai sms atau telpon. Itu hal unik yang membuat aku mulai luluh. Apalagi ketika kau membalas sms dengan kalimat seperti ini :
“udahh ahh, gag usah pura² jaim gitu. Mam tw lg, Nda tuh sebnarna lagi senyum² sndri skrg. J
Aku tertawa melihat balasan sms dari dirimu. Sebenarnya apa yang kau katakan benar. Satu bulan sudah kita menjajaki hati, istilah kerennya adalah PeDeKaTe. Aku tahu sebenarnya kau sudah mulai ada rasa ketertarikan denganku. Bukannya aku GR, tapi aku juga sebenarnya merasakan hal yang sama. Aku menyimpan soal kedekatan kita dari sahabat-sahabatku di kampus. Sampai pertemuan kita pertama kali pun hanya aku, sahabatku dirumah yang tahu. Aku ingat saat pertama kali kau datang ke rumahku. Hari itu malam minggu, kau baru pulang kuliah dan kelihatan lelah.
“Nda dimana, Imam udah ada di depan gang Nda” katamu di telpon
Aku bersama sahabatku Yuli, datang menemuimu di depan gang rumahku aku hanya mengenakan celana pendek dan baju panjang warna pink.
Begitu melihatmu pertama kali kau tahu apa yang terlintas dibenakku, “yakin dia udah kuliah, kok wajahnya seperti anak-anak usia 16 tahun yang belum tamat SMA ya” kataku dalam hati. Kau megenakan kaos bermotif garis-garis hitam putih bertangan panjang. Tas ransel berbentuk kotak berwarna ungu. Dan sepatu cats berwarna putih. Keren, tampan, nampak memang kau sepertinya masih kuliah.
Aku mengajakmu untuk masuk ke dalam rumahku, tapi kau bersikeras tidak mau. Malu, kau katakan padaku. Tapi, aku mencoba meyakinkanmu bahwa tidak akan ada yang melihat, karena hanya kita berdua dan adikku di dalam rumah. Lagipula saat itu, ayah dan ibuku juga tidak ada di rumah.
Sejak pertemuan itu, kita jauh lebih akrab, apalagi saat kau berada didalam rumahku, aku mendapatimu sering melirikku atau sekedar melempar senyum.
“Apa sih ngelihatinnya gitu banget” kataku
“Hmm, gag boleh ya. Memang ada yang marah kalo imam ngelihatin Nanda kayak gini” rayumu
“Gag, kalo mau ngelihatin mesti bayar dulu” kataku manja.   
Kau terseyum. Lebih dari dua jam kau berada di rumahku, namun tidak suatu interaksi menarik yang terjadi. Kita berdua sama-sama diam, tidak tahu berbuat apa. Aku sibuk dengan hp ku, sehingga kau marah dan ngambek.
“Kalo Imam datang hanya untuk merhatiin Nda maen Hp, untuk apa Imam ke sini” katamu mengambil tas dan bersiap-siap untuk pulang.
“Iya, gag maen hp lagi”
Aku suka sekali kau marah saat aku memainkan hp didepanmu. Padahal saat itu, kita belum ada hubungan apa-apa. Namun, sebenarnya aku tahu kau sudah menganggapku lebih dari sekedar teman atau orang yang sedang menjajaki hubungan.
Besoknya kau menelponku. Kau menanyakan padaku apakah aku tidur dengan nyenyak. Aku menjawab lebih daripada nyenyak, malah mimpi indah. Kau tertawa. Beberapa saat kemudian sahabatku dari kampus menelponku bahwa salah satu hasil karyaku dimuat di salah satu media cetak di kota Medan. Aku memberitahukannya padamu. Kau mengatakan bangga terhadapku. Tapi, aku malah terdiam dan termenung. Kejadian itu sama dengan kejadian saat aku baru pertama kali mengenal salah seorang pria yang pernah mengisi hatiku setahun lalu. Aku takut trauma itu datang lagi, aku takut kejadian yang sama akan kau perbuat kepadaku sama dengan mantanku.
Namun kau meyakinkau bahwa tidak akan ada persamaan antara kau dengan dia. Kau mengatakan bahwa kau berbeda dengannya, kau adalah kau, dan dia adalah dia.
Aku pernah berikrar bahwa aku tidak akan bisa jauh darimu, barang sedetikpun. Sejak aku mengatakan hal itu, kau tidak pernah absen untuk menelpon walau untuk menanyakan kabarku. Atau jika kau benar-benar merasa aku benar-benar takut kehilanganmu, kau datang menemuiku.
Sesungguuhnya aku tidak pernah mengharap kau untuk ada di setiap waktu dan kegiatanku. Namun, kau berusaha untuk selalu ada kapanpun aku mau. Sebuah kejadian kecil dan unik ini misalnya, semua sahabatku tidak ada yang tahu kalau kita sudah resmi jadian. Jumat pagi itu, aku bergegas untuk datang ke rumah salah satu sahabatku, Yani. Rumahnya didaerah Marelan. Cukup jauh dari rumahku. Awalnya kau mengizinkan aku pergi. Tapi, ketidakpercayaanmu membuat aku sedikit kesal. Setiap waktu dan menit kau menelponku. Hingga akhirnya kau benar-benar marah dan berniat menjemputku.
“Sebenarnya mimi dimana sih? Kok banyak suara ribut-ribut gitu. Mimi lagi sama cowok pasti kan?” tanyamu melalui telpon
“Gak loh pi, mimi lagi di rumah yani” jelasku
“Dimana? Biar pipi jemput aja. Pipi gag tenang kayak gini. Sekarang pipi pergi, ntar kalo udah sampe Marelan, pipi telpon mi lagi. Kasih tahu alamat jelasnya” ungkapmu panjang lebar
            Belum sempat aku menyuruhmu untuk jangan datang menjemputku, kau sudah menutup telponnya. Ketika aku mencoba menelponmu kembali, telponmu malah susah dihubungi. Aneh memang, kau sekhawatir itu denganku. Padahal jika boleh jujur, justru aku yang takut kau melirik perempuan lain. Karena kau tahu betul aku tidak sebanding denganmu.
            Satu jam kemudian kau datang, tepat waktu pikirku. Kau menelponku menanyakan dimana alamat rumah sahabatku yang jelas. Aku memberitahumu tanpa mematikan telpon. Hingga kau benar-benar sudah sampai di depan gang rumah sahabatku.
“cepet ya mi. Pipi udah chape. Mimi dimana sih? Kita langsung pulang ya.”
“iya, ni lagi di jalan mau keluar. Sabar ya pi”
            Setelah aku tepat didepan gang dan melihatmu, kau tahu aku benar-benar merasa kagum. Semakin sayang denganmu. Padahal kau tahu, sewaktu kau di dalam perjalanan, hujan sempat mengiringi kebahagiaan yang sedang kita bina. Sedang kita burai satu per satu bahagia ini untuk mampu dijaga setiap langkah demi langkah. Kau tersenyum ketika melihatku. Kau mengikutiku dari belakang ketika hendak masuk ke dalam rumah sahabatku. Namun, di  tengah perjalanan sekumpulan pemuda di daerah rumah sahabatku menggodaku.
“haii, yang pke switer abu-abu” goda salah satu dari pemuda itu
Aku diam, namun mereka mencoba terus menggangguku
“sombonk ya. Anak mana sih?”
Aku tersenyum dalam hati dan berkata “aneh, apa mereka gak tahu ya kalo yang dibelakang aku ini pacar aku”. Aku melirik ke belakang, kau tersenyum. Mungkin kau juga merasa aneh. Hmm, sekelumit kisah ini menjadi pengalaman unik pertama yang aku lewati denganmu. Masih banyak hal-hal lain memang yang akan aku ceritakan hanya untuk sekedar berbagi kebahagiaan.
Satu bulan kemudian, kau memberikan kejutan terindah. Kau menjemputku di kampus. Padahal aku belum pulang sebenarnya. Namun kau mengancam jika aku tidak ikut dirimu pulang, kau tidak akan pernah mau lagi menjemputku. Akhirnya aku izin tidak masuk satu mata kuliah terakhir karena mau menemuimu. Aku bingung kenapa kau tiba-tiba secepat itu ingin bertemu denganku. Kau masih menggunakan pakaian dinas atau pakaian resmi kantormu. Ganteng dan keren sih. Tapi, risih. Kesannya aku pacaran sama om-om tukang kredit.
Kau mengajakku untuk jalan-jalan. Tiba-tiba hujan turun dengan sangat derasnya. Tepat disalah satu jalan kau berhenti di bawah pohon besar dan rindang.
“sayang pake jaket ini ya. Biar gak kena hujan mimi” sambil membuka jaketnya untuk dipakaikan ke tubuhku.
Sumpah meleleh hatiku. Begitu istimewanya diriku di matamu. Aku tahu itu memang salah satu bentuk tanggung jawabmu karena telah mengajak aku pulang. Karena sebelumnya aku pernah ngomong kalo aku belum sholat, kau mengajakku berhenti di salah satu mesjid di jalan karya. Subhanallah, kau begitu tanggung jawab. Kau menungguiku saat aku sedang mengambil air wudhu. Ketika aku selesai, kau mengajakku untuk sholat berjamaah, karena memang waktu sudah menunjukkan pukul 5 lewat. Kau tahu, baru dirimu yang pernah mengajakku sholat secara berjamaah. Ketika hendak keluar mesjid, aku terjatuh. Tepat dihadapanmu. Aku tahu kau juga malu melihatku yang ceroboh ini, namun kau menarikku dan memegang tanganku. Sambil berbalik badan aku mengatakan sesuatu padamu.
“sayang malu mimi”kataku sambil memelukmu
“udah gak apa-apa, kenapa bisa jatuh tadi?”
Aku terdiam manja. Kau menyuruhku duduk karena hujan belum berhenti. Begitu hujan berhenti, kita langsung pulang. Namun, malam harinya, kau menyuruhku untuk mandi dan dandan yang rapi. Aku tidak tahu kita mau kemana. Ketika aku sudah siap dan bergegas pergi, kau membisikkan sesuatu ke telingaku “pipi sayang mimi”. Ternyata kau mengajakku ke tempat pertama kali kita makan bareng dan resmi jadian. Aku menyebut tempat itu siomay kakek, karena memang yang berjualan adalah seorang kakek-kakek. Aku tersenyum, dan kau mulai memegang tanganku.
“sayang, happy aniversary yang ke satu bulan ya”
Apa,, aniversary ke satu bulan. Aku saja hampir lupa. Tapi, kau mengingatnya. Aku bahagia, sangat bahagia.
Waktu menjadi teman terbaik bagiku saat aku menghitung mundur pertemuan kita. Saat aku menghitung berapa lama kau berada didekatku, jika aku merindukanmu. Kau seperti khayal yang selalu memberikan imajinya untuk sekedar singgah di dalam pikiranku. 

No comments:

Post a Comment