Total Pageviews

Tuesday, October 29, 2013

Perihal Gincu dan Dua Kartu Mati Part 2

By Nanda Risanti @Nandarisanti

Cerpen ini lanjutan dari cerpen Mentary yang bisa dilihat disini => http://pendongengkenangan.blogspot.com/


Malam sudah merobek-robek harga diri wanita malang itu, laksmi. Dia seakan menutup pintu malunya malam itu hanya untuk mendapatkan uang, menjadi wanita yang sangat suci hanya untuk mendapatkan uang, yang digunakan untuk membayar uang sekolah anaknya, membelikan kado untuk rini, memberikan mainan baru untuk kunto. Sekedar menjadi wanita penghibur nafsu lelaki hidung belang, biarpun penyakit kanker rahim itu sudah banyak yang mengetahui. Laksmi sengaja berpindah-pindah tempat, pakaian seksi, sesekali bersiul untuk memanggil pelanggan, sesekali memainkan tangannya, memeletkan lidahnya, memainkan bibirnya yang merah dengan gincu. Namun tetap tidak ada lelaki yang bersedia memakai jasa tubuhnya. Ntahlah, dunia begitu kejam malam itu. Tuhan seakan menjadi saksi betapa dia benar-benar merindukan pungguk kesejahteraan, hanya untuk membahagiakan keluarganya tanpa menjadi seorang wanita penghibur.
“sudahlah kak laksmi, jangan terlalu memaksakan kehendak. Kak laksimi sudah terlalu tua untuk hal ini. Apalagi penyakit yang sudah menggerogoti sebagian tubuh kakak. Carilah pekerjaan yang lebih baik” ucap seorang wanita yang datang menemuinya dengan rokok ditangannya.
Sarah, ya namanya sarah. Dia menjadi satu-satunya wanita penghibur yang mau berteman dengan laksmi. Sarah juga tahu bahwa laksmi memiliki anak-anak yang –anak yang harus dibiayai. Namun laksmi tidak mengindahkan kata-kata dari Sarah. Suara jangkirk-jangkrik menjadi teman dan musik terbaik untuk sebuah malam jahat yang selalu mengurung kebahagiaan laksmi. Dia pun pulang dengan sejumput sedih dan rasa bersalah karena tidak bisa menepati janjinnya kepada kedua buah hatinya.
#
“kemarilah rini, kunto, apa kalian tidak rindu dengan ayah kalian ini hah !!” pria mabuk itu masih menggoda-goda  kedua buah hati laksmi yang juga kedua buah hatinya untuk membukakan pintu rumah.
Sementara itu, dari kejauhan dengan tergontai laksmi berjalan menuju rumahnya. Sambil menenteng sepatunya higheels nya. Melihat sesosok pria yang ada di depan pintu rumahnya sedang menggoda-goda anaknya, laksmi kalap. Dengan higheelsnya dia memukulkan kepala pria itu.
“dasar laki-laki brengsek, mau apa kau kesini. Sudah ku bilang jangan ganggu kami lagi”
Pria itu langsung menaikkan emosinya, dia memukuli wanita itu. Dengan suara tangisan yang terisak, lelaki itu pun masih belum menghentikan kekejiannya. Sampai akhirnya, dari kejauhan terdengar adzan subuh. Pria jalang itupun meninggalkan wanita malang itu dalam keadaan berantakan.
#
Seorang wanita menghadap ke kaca. Memoles wajah manisnya dengan bedak, membubuhi bibirnya dengan gincu merah, tebal. Dia lalu masuk kekamar mandi, melepas seluruh pakaiannya yang sedang dia pakai, menggantinya dengan rok mini dan juga kaos ketat. Menguraikan rambut panjangnya yang hitam dan tebal. Jemari-jemari lentiknya dengan lihai memoles bagian alis matanya. “aku siap” katanya dalam hati.
Dia berjalan disebuah mall dengan anggunnya. Handphone nokia 1600 miliknya berdering dengan kencang. “pelanggan” katanya lagi. Dia menghampiri seorang pria berkumis, dengan menggunakan kemeja, hanphone blackberry ditangan kanannya dan rokok di tangan kirinya.
“hay om”
“hay sayang, udah siap?” pria itu mengajak seorang wanita itu ke sebuah tempat tertutup, gelap. Hanya ada sebuah tv dan dua buah mic. Ya, itu KTV. Tempat karaoke. Perempuan itu mulai melayani seorang pria tua itu.
“sebentar, sentuh silahkan. Tapi kalo untuk tidur, maaf” kata wanita itu sambil menyentuh pipi pria tersebut dengan lembut sehingga membuat pria tersebut semakin terdorong untuk melancarkan aksinya. Sementara wanita itu hanya diam, sambil sesekali mengambil minuman beralkohol untuknya.
Hampir 2 jam wanita malang itu seakan menikmat nafsu dari pria berumis itu. Jijik, pasti. Dia bahkan lebih tua dari wanita itu, namun kekejian itu tidak ada bandingnya dengan kekejian perlakuan ayahnya sendiri.
“1 juta.. itu cukupkan?” pria tersebut mengeluarkan uang tersebut.
Wanita itu keluar, sebelum keluar dia merapikan pakaian dan rambutnya yang sudah acak-acakan. Sesekali dia tersenyum pahit, meringis. Merasa ini cara paling adil untuk membantu prekonomian keluarganya.
#
“kunto,, kak rini belom pulang ya?” tanya laksmi sambil tidur terus berbaring di tempat tidur. Menggunakan sarung lusuh, cangkir kaleng disampingnya. Obat-obatan yang sudah hampir habis. Kunto hanya terdiam, sambil terus membaca sebuah buku yang kertasnya sudah berwarna coklat itu.
Rini, ya rini. Rini menjadi seorang perempuan panggilan. Padahal usianya baru menginjak 16 tahun. Untuk menghidupi keluarga dan juga membiayai sekolahnya. Tidak ada yang tahu soal ini, kecuali teman-teman dekatnya. Rini seakan jijik dengan profesinya, tapi dia sama sekali tidak tahu apa yang mesti dia lakukan, seakan dosa yang membayangi hanya sebagai penghias pikiran. Rona merah bahkan rasa perih jika pria yang menjadi pelanggannya sudah terlalu bernafsu untuk melumat bibirnya, untuk sekedar meremas apa yang ada di bagian tubuhnya, tapi itu tidak lebih sakit jika dia harus melihat ibunya meringis keaskitan atas kanker rahim itu. Selama pria hidung belang itu tidak meminta macam-macam, atau tidur dengannya dia akan menuruti semua kemauan pria tersebut. Dan sudah pasti, uang yang dia hasilkan juga akan lebih banyak.
Rini pulang dengan obat-obat ditangannya. Dan sebuah buku-buku baru untuk adiknya. Hidup sama sekali sudah memberikan petunjuk, apa yang harus orang lain lakukan. Deru angin yang senantiasa bisa saja dengan tiba-tiba menghancurkan rumah mereka. Itu yang menjadi bahan pertimbangan didalam pikiran rini untuk mau menjadi rini yang sekarang.
“darimana kau dapatkan uang untuk membeli semua ini rini?
“rini udah bilang jangan ditanya, rini kerja.”
“kerja apa, bisa beli obat semahal ini dan buku-buku itu”
“cukup bu, jangan tanya. Rini capek. Ibu cukup minum obat itu dan sembuh. Biar bisa kerja lagi untuk menghidupi rini dan kunto”
Wanita tua itu menangis, saat rini membalikkan badannya, sebuah gincu jatuh dari dalam tas rini. Laksmi langsung mengambil gincu tersebut, rini yang tidak menyadari bahwa gincu yang biasa dia pakai jatuh langsung pergi. Laksmi langsung memeriksa sisa-sisa gincu dan bedak yang selalu dia pakai untuk menjadi wanita penghibur dua tahun lalu. Tidak ada. Laksmi tidak menemukan gincu dan bedak tersebut. Laksmi marah. Marah dengan rini. Dia menjambak rambut rini, menampar rini, namun rini hanya diam. Ya, rini diam karena rini tahu itu suatu kesalahan. Tapi, kalau tidak seperti itu, bagaimana dia mendapatkan uang. Rini hanya menangis. Kenapa bahagia seperti menjauh dari keluarganya. Haruskah setan-setan itu berubah warna menjadi putih, atau malaikat-malaikat yang ada ditangan menjadi dayang-dayang didalam pikiran. Haruskah rini menjadi sesosok gadis pendiam yang diam dengan keadaan. Laksmi terjatuh. Dia terdiam, dia menangis sejeadi-jadinya. Sementara kunto hanya memeluk sebuah buku baru yang baru saja dibelikan rini untuknya.
Laksmi bangkit dan menyeret tubuh rini ke dalam sebuah kamar mandi kecil, dinding coklat, sebuah sumur yang sudah berubah warna menjadi hijau dikarenakan lumut, lantai yang licin. Laksmi langsung menyirami tubuh anaknya tersebut. “kau kotor rini. Kau masih kecil, kenapa kau lakukan ini” laksmi berucap sambil menangis.
“hentikan bu, kalau aku kotor, lalu ibu apa? Tidakkan ibu tahu kenapa aku melakukan itu semua. Aku hanya melayani pria-pria hidung belang itu, sama sekali tidak memberika mereka kenikmatan seperti yang ibu lakukan. Aku selalu menjaga apa yang mesti dijaga oleh setiap wanita bu. Jadi ibu tidak seharusnya melakukan hal ini”rini berteriak-teriak
Laksmi terdiam, dia merasa apa yang dikatakan rini benar. Dia merasa tidak bisa menjadi  seorang ibu yang baik untuk kedua buah hatinya. Banyak jalan yang harus dia pilih untuk sekedar menyuarakan isi hatinya. Dia seakan menjadi pagar untuk kebaikan yang dibuat anaknya. Menjadi penghalang atau bahkan malaikat pencabut nyawa jika tindakannya tadi terus dilakukan ke rini.
#
Langit gelap, mendung, gerimis turun dengan setia. Belum hujan. Tanah basah itu menjadi saksi pertemuan rini, kunto dan ibunya untuk yang terakhir kali. Setelah teror yang mereka alami dari ayah mereka.
“rini pergi bu, rini sama kunto mau pindah. Ibu hati-hati disini ya. Kami akan tetap berkunjung kesini kok lain waktu. Rini sayang ibu. Rrini akan jaga kunto bu.” Airmata itu pecah, rini menangis terisak, rini tidak kuasa meninggalkan makam ibunya. Tetapi dia tahu pindah dari daerah itu adalah satu-satunya jalan. Tidak ada lagi ketakutan, tidak ada lagi kesakitan, tidak ada lagi tangis jika dia pergi dari daerah itu. Hidup itu menjadi sangat kejam selama hampir 17 tahun rini hidup bersama ibunya, dia harus lahir dari seorang wanita tunasusila, selalu meliaht kekejian ayahnya yang bertindak sesuka hati terhadap ibunya, melihat ibunya melayani pria berhidung belang untuk sekedar menghidupi dirinya dan adiknya. Dan sekarang, hal yang sama sedang dia lakoni untuk biaya sekolah adiknya dan biaya melanjutkan hidup dan sekolahnya. Ini perihal gincu dan dua kartu mati, ya dua kartu mati. Perihal, Pilihan yang sulit, menjadi rini yang belum mengenal dunia yang sangat kejam, atau menjadi rini yang menjadi malaikat untuk keluarganya dengan cara yang tidak disukai malaikat. Mendung pada tangis dan duka yang menjadi tawaran dalam sebuah kehidupan. Menjadi lentera penerang untuk sebuah kata “maaf” .  ini perihal gincu dan dua kartu mati, seorang ibu wanita penghibur dan kini seorang anaknya pun sedang bergelut dengan kehidupan yang sama. Ini bukan suatu kesalahan, hanya sebuah fenomena kehidupan. Dimana ada hitam dan putih. Dimana hidup menjadi sebuah teka teki. Sebuah kupu-kupu malam itu suci, tetap dia kupu-kupu yang terbang dan muncul dimalam hari. Menjadi kupu-kupu malam itu tidak keji, mereka hanya melayani, mendapatkan uang, dan menghidupi keluarga mereka. Bahkan mereka lebih suci dari para koruptor yang bermobil mewah. Semua lakon kehidupan sudah dilakoni laksmi dan kedua buah hatinya. Sang sutradara pun sudah menentukan akhir ceritanya. Tuhan lebih memilih dia pergi.
Rini dan juga laksmi menjadi dua kartu mati yang berharga. Dua perempuan sebagai penentu sebuah kebahagiaan. Menjadi tawa dalam setiap tawar yang selama ini mereka rasakan. Tenang itu seakan menjadi teman dalam kehidupan rini dan kunto sekarang. Biarpun malaikat mereka sudah pergi untuk selamanya, hilang menjadi buiran debu dalam setiap cangkir kehidupan. Jalan memang hanya ada dua arah, lurus atau belok. Lurus saja juga tidak menjamin bahwa jalan yang kita pilih itu benar, untuk sampai ke tujuan, tetapi adakalanya kita harus belok untuk sekedar menghapal jalan. Tuhan adil dengan segala takdirnya.

No comments:

Post a Comment