Seribu Kisah Untukmu
Senja
Karya Nanda Risanti
Hidup itu gelap saat aku
benar-benar kehilanganmu. Aku merasa senja yang paling aku kagumi tidak
bersahabat semenjak awan gelap selalu mengunjungi langit sore. Jika aku benar-benar
kehilanganmu aku berharap masih ada pelangi yang masih mau menemaniku, namun
kenyataannya pelangi juga enggan memberikan warnanya untuk sekedar menghiburku
yang baru saja kehilanganmu. Sungguh pun memang aku tidak akan pernah bertemu
denganmu, aku selalu berharap langit masih memberikan awannya untuk kupinjam
hanya untuk sekedar bercerita tentang hal yang pernah aku jalani denganmu.
Kisah ini kupersembahkan untuk orang yang paling aku sayang hingga saat ini, untuk
orang yang selalu mau meminjamkan bahunya disaat aku benar-benar kehilangan
arah.
Cinta memberikan aku
aroma madu saat aku benar-benar merasa bahagia, namun cinta memberikan aku rasa
pahit saat aku benar-benar kehilanganmu. Sungguh ini bukan irisan hati yang
terluka, hanya irisan hati yang mencoba menumpah ruahkan perasaanya untuk
sekedar dibagi kepada langit luas.
Bisa mengenalmu adalah
suatu hal terindah yang patut aku syukuri. Aku pernah mengenal banyak pria
dalam hidupku, tak terkecuali dirimu. Namun, memilihmu untuk yang aku sayang
hingga saat ini adalah hal paling terindah yang sangat tak terbayangkan.
Mungkin kedengarannya berlebihan jika aku mengatakan hal itu, jika mengingat
masa perkenalan dan dilanjutkan hingga pada masa pacaran kita yang relatif
singkat. Pertemuan kita di awali karena ketidak sengajaan, dirimu memiliki
kesamaan dengan salah seorang yang pernah ada di hatiku. Sahabatku
mengenalkanmu denganku lewat foto di jejaring sosial facebook. Awalnya hanya iseng, kau sudah pernah melihat wajahku
meski hanya dari foto, tapi aku, sama sekali belum pernah mengenalmu, bahkan
dari foto sekalipun. Sahabatku selalu memuji dirimu di depanku, meski setelah
aku kehilangan orang yang dia anggap mirip denganmu. Tapi, ada hati lain yang
sempat mendekatiku sebelum aku mengambil keputusan untuk mau mengenalmu. Satu
bulan lebih kita tidak pernah berkomunikasi, hanya dari sahabatku aku bisa
mendapatkan kabar darimu. Setelah aku tahu, hati yang hanya sepintas lewat itu
tidak benar-benar memberikan hatinya untukku, aku mencoba untuk mau mencoba
mengenalmu. Aneh memang, aku seperti memanfaatkanmu untuk bisa menghibur diriku
dari kekecewaanku, karena orang yang dekat denganku tidak sesuai keinginanku.
Tapi, kau masih ada niat baik untuk masih mau menanggapi sms atau miscall
dariku. Aku sempat tidak percaya bahwa kau sedang tidak sendiri. Namun, kau
berulang-ulang kali meyakinkan aku dengan semua perkataanmu.
“Kenapa sih Nda gak pernah mau
ketemu sama Imam?” tulis dia di pesan.
“Nda takut Imam bakalan lari kalo
ketemu sama Nda.” Balasku
Sejak saat itu, akhirnya
kita mulai berkomunikasi lewat sms atau sekedar nelpon. Aku tidak pernah mau
sms dirimu pertama kali, sebelum kau yang pertama kali sms aku. Aku pura-pura
cuek atau jaim jika kau sms atau menelponku. Aku sadar sebenarnya kau tahu
gelagat kesengajaanku. Namun, kau masih mau mengalah untuk memulai sms atau
telpon. Itu hal unik yang membuat aku mulai luluh. Apalagi ketika kau membalas
sms dengan kalimat seperti ini :
“udahh ahh, gag usah pura² jaim
gitu. Mam tw lg, Nda tuh sebnarna lagi senyum² sndri skrg. J”
Aku tertawa melihat
balasan sms dari dirimu. Sebenarnya apa yang kau katakan benar. Satu bulan
sudah kita menjajaki hati, istilah kerennya adalah PeDeKaTe. Aku tahu sebenarnya kau sudah mulai ada rasa ketertarikan
denganku. Bukannya aku GR, tapi aku
juga sebenarnya merasakan hal yang sama. Aku menyimpan soal kedekatan kita dari
sahabat-sahabatku di kampus. Sampai pertemuan kita pertama kali pun hanya aku,
sahabatku dirumah yang tahu. Aku ingat saat pertama kali kau datang ke rumahku.
Hari itu malam minggu, kau baru pulang kuliah dan kelihatan lelah.
“Nda dimana, Imam udah ada di
depan gang Nda” katamu di telpon
Aku bersama sahabatku
Yuli, datang menemuimu di depan gang rumahku aku hanya mengenakan celana pendek
dan baju panjang warna pink.
Begitu melihatmu pertama
kali kau tahu apa yang terlintas dibenakku, “yakin
dia udah kuliah, kok wajahnya seperti anak-anak usia 16 tahun yang belum tamat
SMA ya” kataku dalam hati. Kau megenakan kaos bermotif garis-garis hitam
putih bertangan panjang. Tas ransel berbentuk kotak berwarna ungu. Dan sepatu
cats berwarna putih. Keren, tampan, nampak memang kau sepertinya masih kuliah.
Aku mengajakmu untuk
masuk ke dalam rumahku, tapi kau bersikeras tidak mau. Malu, kau katakan
padaku. Tapi, aku mencoba meyakinkanmu bahwa tidak akan ada yang melihat,
karena hanya kita berdua dan adikku di dalam rumah. Lagipula saat itu, ayah dan
ibuku juga tidak ada di rumah.
Sejak pertemuan itu, kita
jauh lebih akrab, apalagi saat kau berada didalam rumahku, aku mendapatimu sering
melirikku atau sekedar melempar senyum.
“Apa sih ngelihatinnya gitu
banget” kataku
“Hmm, gag boleh ya. Memang ada
yang marah kalo imam ngelihatin Nanda kayak gini” rayumu
“Gag, kalo mau ngelihatin mesti
bayar dulu” kataku manja.
Kau terseyum. Lebih dari
dua jam kau berada di rumahku, namun tidak suatu interaksi menarik yang
terjadi. Kita berdua sama-sama diam, tidak tahu berbuat apa. Aku sibuk dengan
hp ku, sehingga kau marah dan ngambek.
“Kalo Imam datang hanya untuk
merhatiin Nda maen Hp, untuk apa Imam ke sini” katamu mengambil tas dan
bersiap-siap untuk pulang.
“Iya, gag maen hp lagi”
Aku suka sekali kau marah
saat aku memainkan hp didepanmu. Padahal saat itu, kita belum ada hubungan
apa-apa. Namun, sebenarnya aku tahu kau sudah menganggapku lebih dari sekedar
teman atau orang yang sedang menjajaki hubungan.
Besoknya kau menelponku.
Kau menanyakan padaku apakah aku tidur dengan nyenyak. Aku menjawab lebih
daripada nyenyak, malah mimpi indah. Kau tertawa. Beberapa saat kemudian
sahabatku dari kampus menelponku bahwa salah satu hasil karyaku dimuat di salah
satu media cetak di kota Medan. Aku memberitahukannya padamu. Kau mengatakan
bangga terhadapku. Tapi, aku malah terdiam dan termenung. Kejadian itu sama
dengan kejadian saat aku baru pertama kali mengenal salah seorang pria yang
pernah mengisi hatiku setahun lalu. Aku takut trauma itu datang lagi, aku takut
kejadian yang sama akan kau perbuat kepadaku sama dengan mantanku.
Namun kau meyakinkau
bahwa tidak akan ada persamaan antara kau dengan dia. Kau mengatakan bahwa kau
berbeda dengannya, kau adalah kau, dan dia adalah dia.
Aku pernah berikrar bahwa
aku tidak akan bisa jauh darimu, barang sedetikpun. Sejak aku mengatakan hal itu,
kau tidak pernah absen untuk menelpon walau untuk menanyakan kabarku. Atau jika
kau benar-benar merasa aku benar-benar takut kehilanganmu, kau datang
menemuiku.
Sesungguuhnya aku tidak
pernah mengharap kau untuk ada di setiap waktu dan kegiatanku. Namun, kau
berusaha untuk selalu ada kapanpun aku mau. Sebuah kejadian kecil dan unik ini
misalnya, semua sahabatku tidak ada yang tahu kalau kita sudah resmi jadian.
Jumat pagi itu, aku bergegas untuk datang ke rumah salah satu sahabatku, Yani.
Rumahnya didaerah Marelan. Cukup jauh dari rumahku. Awalnya kau mengizinkan aku
pergi. Tapi, ketidakpercayaanmu membuat aku sedikit kesal. Setiap waktu dan
menit kau menelponku. Hingga akhirnya kau benar-benar marah dan berniat
menjemputku.
“Sebenarnya mimi dimana sih? Kok
banyak suara ribut-ribut gitu. Mimi lagi sama cowok pasti kan?” tanyamu melalui
telpon
“Gak loh pi, mimi lagi di rumah
yani” jelasku
“Dimana? Biar pipi jemput aja.
Pipi gag tenang kayak gini. Sekarang pipi pergi, ntar kalo udah sampe Marelan,
pipi telpon mi lagi. Kasih tahu alamat jelasnya” ungkapmu panjang lebar
Belum
sempat aku menyuruhmu untuk jangan datang menjemputku, kau sudah menutup
telponnya. Ketika aku mencoba menelponmu kembali, telponmu malah susah
dihubungi. Aneh memang, kau sekhawatir itu denganku. Padahal jika boleh jujur,
justru aku yang takut kau melirik perempuan lain. Karena kau tahu betul aku
tidak sebanding denganmu.
Satu
jam kemudian kau datang, tepat waktu pikirku. Kau menelponku menanyakan dimana
alamat rumah sahabatku yang jelas. Aku memberitahumu tanpa mematikan telpon.
Hingga kau benar-benar sudah sampai di depan gang rumah sahabatku.
“cepet ya mi. Pipi udah chape.
Mimi dimana sih? Kita langsung pulang ya.”
“iya, ni lagi di jalan mau
keluar. Sabar ya pi”
Setelah
aku tepat didepan gang dan melihatmu, kau tahu aku benar-benar merasa kagum. Semakin
sayang denganmu. Padahal kau tahu, sewaktu kau di dalam perjalanan, hujan
sempat mengiringi kebahagiaan yang sedang kita bina. Sedang kita burai satu per
satu bahagia ini untuk mampu dijaga setiap langkah demi langkah. Kau tersenyum
ketika melihatku. Kau mengikutiku dari belakang ketika hendak masuk ke dalam
rumah sahabatku. Namun, di tengah
perjalanan sekumpulan pemuda di daerah rumah sahabatku menggodaku.
“haii, yang pke switer abu-abu”
goda salah satu dari pemuda itu
Aku diam, namun mereka mencoba
terus menggangguku
“sombonk ya. Anak mana sih?”
Aku tersenyum dalam hati
dan berkata “aneh, apa mereka gak tahu ya
kalo yang dibelakang aku ini pacar aku”. Aku melirik ke belakang, kau
tersenyum. Mungkin kau juga merasa aneh. Hmm, sekelumit kisah ini menjadi
pengalaman unik pertama yang aku lewati denganmu. Masih banyak hal-hal lain
memang yang akan aku ceritakan hanya untuk sekedar berbagi kebahagiaan.
Satu bulan kemudian, kau
memberikan kejutan terindah. Kau menjemputku di kampus. Padahal aku belum pulang
sebenarnya. Namun kau mengancam jika aku tidak ikut dirimu pulang, kau tidak
akan pernah mau lagi menjemputku. Akhirnya aku izin tidak masuk satu mata
kuliah terakhir karena mau menemuimu. Aku bingung kenapa kau tiba-tiba secepat
itu ingin bertemu denganku. Kau masih menggunakan pakaian dinas atau pakaian
resmi kantormu. Ganteng dan keren sih. Tapi, risih. Kesannya aku pacaran sama
om-om tukang kredit.
Kau mengajakku untuk
jalan-jalan. Tiba-tiba hujan turun dengan sangat derasnya. Tepat disalah satu
jalan kau berhenti di bawah pohon besar dan rindang.
“sayang pake jaket ini ya. Biar
gak kena hujan mimi” sambil membuka jaketnya untuk dipakaikan ke tubuhku.
Sumpah meleleh hatiku.
Begitu istimewanya diriku di matamu. Aku tahu itu memang salah satu bentuk
tanggung jawabmu karena telah mengajak aku pulang. Karena sebelumnya aku pernah
ngomong kalo aku belum sholat, kau mengajakku berhenti di salah satu mesjid di
jalan karya. Subhanallah, kau begitu tanggung jawab. Kau menungguiku saat aku
sedang mengambil air wudhu. Ketika aku selesai, kau mengajakku untuk sholat
berjamaah, karena memang waktu sudah menunjukkan pukul 5 lewat. Kau tahu, baru
dirimu yang pernah mengajakku sholat secara berjamaah. Ketika hendak keluar mesjid,
aku terjatuh. Tepat dihadapanmu. Aku tahu kau juga malu melihatku yang ceroboh
ini, namun kau menarikku dan memegang tanganku. Sambil berbalik badan aku
mengatakan sesuatu padamu.
“sayang malu mimi”kataku sambil
memelukmu
“udah gak apa-apa, kenapa bisa
jatuh tadi?”
Aku terdiam manja. Kau
menyuruhku duduk karena hujan belum berhenti. Begitu hujan berhenti, kita
langsung pulang. Namun, malam harinya, kau menyuruhku untuk mandi dan dandan
yang rapi. Aku tidak tahu kita mau kemana. Ketika aku sudah siap dan bergegas
pergi, kau membisikkan sesuatu ke telingaku “pipi
sayang mimi”. Ternyata kau mengajakku ke tempat pertama kali kita makan
bareng dan resmi jadian. Aku menyebut tempat itu siomay kakek, karena memang
yang berjualan adalah seorang kakek-kakek. Aku tersenyum, dan kau mulai
memegang tanganku.
“sayang, happy aniversary yang ke
satu bulan ya”
Apa,, aniversary ke satu bulan.
Aku saja hampir lupa. Tapi, kau mengingatnya. Aku bahagia, sangat bahagia.
Waktu menjadi teman
terbaik bagiku saat aku menghitung mundur pertemuan kita. Saat aku menghitung
berapa lama kau berada didekatku, jika aku merindukanmu. Kau seperti khayal
yang selalu memberikan imajinya untuk sekedar singgah di dalam pikiranku.