Total Pageviews

Tuesday, July 1, 2014

Sebatas Senja



Cerpen by Nanda Risanti

“Hay senja selamat pagi?”
“hay senja selamat malam?”
“hay senja, kamu dimana?”
“hay senja, kenalin ini aku pelangi?”
“hay senja, aku kangen kamu”
Bahkan cinta tidak pernah serupa dengan tokoh utama perjuangan yang memperjuangkan negaranya, bukan aku yang mencintai kau lebih, tapi aku yang terlalu lama menyatakan perang. Perang melawan hati, perang melawan rasa takut, perang melawan semua orang yang berusaha mendekatimu.
Ini tentang aku dan senja yang muncul secara tiba-tiba tanpa pernah aku undang…
***
Aku bergerak menyusuri koridor kampus besar itu, langit gelap, mendung. Tidak ada sinar matahari dan waktu sudah menunjukkan pukul 17. 45 WIB. Aku mempercepat lariku. Ku hentikan langkahku tepat di sebuah tempat wudhu.
“Sial, bahkan tempat wudhu pukul segini pun masih penuh” gumamku dalam hati.
Aku pergi berlari ke salah satu kamar mandi tepat di belakang gedung jurusanku. Tenang, sepi. Tapi tetap saja, ada yang mengisi. Aku terdiam cukup lama. Hingga akhirnya seorang lelaki berpakaian rapi, dengan kaos bercorak hijau putih bergaris, dan celana tisu warna hitam. Wajahnya bersinar.
“Subhanallah, sore ini bahkan senja tidak muncul karena mendung. Tapi di hadapanku sekarang, ini senja” kataku kagum dalam hati.
Pria itu tersenyum. Dia memakai jam tangan merk positif di tangan kanannya. Alu, ada sesak di rongga dada paling dalam di tubuhku saat dia melayangkan senyum kepadaku.
“maaf, lama. Airnya keluarnya gak deres. Agak sedikit lama” jelasnya.
Aku hanya tersenyum.
***
Ada sebuah pengumuman di mading. Tentang semua calon pemimpin SEMAF. Dari semua foto itu, ada foto dia, ya dia yang mengantikan senjaku sore hari itu. Senjaku yang tidak muncul karena mendung merenggutnya.
“Fatan syahputra. Dia temen SMP aku dulu nis, dulu tuh anaknya cengo abis. Gak gaul. Aslik, dia tuh pokoknya kucel dah. Mana kecil banget dulu, gak tahu sekarang kenapa bisa jadi ganteng, keren, pinter, dan calon SEMAF. Kenapa, tuh jari telunjuk gak pindah-pindah dari fotonya” resya berbicara panjang lebar.
“gak kenapa-kenapa” aku berhalau pergi. “Fatan.. fatan.. jurusan bahasa inggris, dan smart. Gak cocok banget sama aku. “ kataku sambil terus berpikir dalam hati.
Saat aku sedang sibuk memikirkan lelaki yang biasa aku panggil senja itu, ada sebuah tangan besar merangkul bahuku. Dia sahabat yang sangat memahamiku. Resya.
“jadi, apa kamu mau cerita ? kamu naksir dia ya.. hayo ngaku. Mau aku kenalin?” ledeknya.
Mulai sejak saat itu, aku tidak bisa mengelak dari Resya. Dia terlalu pintar untuk sekedar aku bohongi. Bahkan dia yang paling peka dengan keadaanku.
***
“hay senja.. selamat pagi. Haha.. lucu ya kalau aku nyapa kamu pagi-pagi tapi aku panggil kamu senja. Kan senja munculnya sore-sore. Haha. Hari ini kamu cute banget deh, pake batik. Selalu suka kalo kamu udah pake kemeja. Jangan pernah baca hati aku ya, kalo kamu baca, aku malu..” tulisku di notebook yang tiap hari aku bawa kemanapun.
***
Sebuah suara dari jauh mengagetkan aku. Dari awal aku tidak pernah tahu bagaimana rasanya menyayangi seseorang yang hanya bisa aku pandangi dari kejauhan. Tidak untuk semua rasa yang bahkan selalu menyimpan sesak tiap kali aku berpapasan dengannya. Tidak untuk semua kekecewaan dan rasa sakit tiap kali melihatnya dengan wanita lain. Tidak untuk rasa tawa dan bangga tiap kali aku melihatnya sibuk berkampanye di koridor kampus. Dan tiap kali aku memperhatikannya dari kejauhan, aku selalu berkata “jadikan aku jodohnya ya Allah, atau jadikan dia jodohku. Impas dan adil kan. Hehehe” kataku dalam hati.
“Anisa.. “ teriak Resya dari kejauhan.
“itu Fatan tuh, pake jaket PSD warna hitam. Keren deh” jelasnya.
Aku mencari dimana keberadaan Fatan karena pemberitahuan Resya. Namun saying, aku tidak menemukannya. Aku tahu Resya sedang meledekku.
“ciee nyariin berarti naksir beneran. Jodohin ah.. “ katanya. Lalu tiba-tiba dia terdiam. Aku bingung dengan tingkahnya saat itu, dia kemudian melayangkan senyum. Aku berbalik arah ke belakang, dan betapa kagetnya aku, karena lelaki itu berjalan berlawanan arah dari aku dan Resya. Seperti kebiasaanku, aku hanya bisa menunduk.
Fatan adalah lelaki yang tidak pernah berbicara banyak. Dia bertindak sesuai dengan kapasitasnya. Tanpa pernah menggurui. Fatan tidak pernah merasa paling benar, jikapun dia sudah merasa kesal karena orang lain, dia hanya akan tersenyum untuk membalas perkataan orang lain tersebut. Jika dia benar-benar sudah bisa mengontrol perasaannya, maka apapun yang dia katakana akan membuat sakit hati yang membaca. Dia lelaki yang bertanggung jawab. Jangan Tanya kenapa aku bisa begitu mengenalnya. Dia lelaki yang pantas untuk dicari tahu.
***
Bahagia itu ketika aku tahu namanya, dia tinggal dimana, dia orangnya seperti apa. Dan yang paling membuat aku bahagia adalah, begitu banyak teman dan sahabatku yang mengenal dia sangat baik. Langit mendung sore hari itu telah menjadi saksi bahwa pertemuan pertama itu adalah pertemuanku dengan cinta yang tidak pernah merasakan cinta itu sendiri..
Aku sama sekali tidak pernah menolak untuk apapun yang membuat aku sakit. Bahkan jika lelaki itu telah memiliki kekasih. Karena hati ini tanpa permisi telah jatuh cinta pada lelaki yang sama sekali belum aku kenal. Bukankah cinta tidak pernah permisi pada siapa dia tujukan, pada siapa dia jatuhkan. Dan cinta tidak pernah meminta. Lelaki yang aku pandangi dari kejauhan tidak pernah meminta untuk aku cintai sedalam ini..
***
“gak.. gak mungkin. Resya tolong, dia berjalan ke arahku. Kita harus lari, kita harus lari. Aku tidak ingin dia membaca hatiku..” kataku gugup
Namun resya sama sekali menghiraukan ajakanku. Dia hanya terdiam mematung. Bahkan Resya tersenyum dengan Fatan. Fatan, berjalan semakin mendekat. Lalu aku…….

“jadilah cinta yang tidak pernah sadar pada siapa kita mencinta. Karena cinta tidak pernah rela hati ini terluka ketika kita menyadarinya, bahwa yang kita cintai adalah semu belaka”


1 comment: